--> Skip to main content

Panggilan dari Tanah Saketi: Saat Kita Mengunjungi Bagian dari Diri Sendiri

Terkadang, ada momen dalam hidup di mana tanpa alasan yang jelas, kita merasa ditarik menuju suatu tempat. Entah karena undangan kecil, perjalanan singkat, atau sekadar lintasan niat yang tak disengaja. Namun jauh di balik logika sederhana itu, seolah ada kekuatan halus yang berbisik, “datanglah, karena ada sesuatu yang menantimu di sana.”



Begitulah rasanya ketika kesadaran itu muncul — “saat kita berkunjung ke suatu tempat tertentu, sebenarnya kita sedang mengunjungi bagian dari diri kita.” Kalimat itu seperti gema dari dimensi dalam diri yang lama terdiam. Ia hadir bukan dari pikiran, tapi dari rasa dari getaran halus yang seolah menembus batas antara dunia luar dan dunia batin.

Saketi, sebuah wilayah di Pandeglang, mungkin tampak seperti tempat biasa di peta. Namun bagi mereka yang peka, tanahnya menyimpan getaran tua, aroma lembap dari pepohonan, dan bisikan sunyi dari angin pegunungan. Bagi sebagian orang, langkah pertama di tanahnya bisa menimbulkan sensasi aneh, seperti déjà vu dari kehidupan yang entah kapan pernah terjadi.

Perjalanan ini mungkin tampak sederhana: menghadiri undangan keluarga, menyambung silaturahmi. Namun di balik itu, semesta sering kali menulis skenario yang lebih dalam dari yang tampak di permukaan. Barangkali undangan itu hanyalah jalan masuk, sementara tujuan sejatinya adalah pertemuan dengan bagian jiwa yang telah lama menunggu.

Saat tiba nanti, mungkin kamu akan merasakan sesuatu yang berbeda. Udara terasa lebih berat, tapi menenangkan. Langit tampak lebih luas, namun diamnya seolah berbicara. Mungkin di balik pepohonan, di antara desir angin, atau di tatapan orang-orang yang kamu temui — ada cermin kecil yang memantulkan potongan dirimu yang terlupakan.

Setiap langkah di tanah baru adalah percakapan diam antara tubuh dan alam. Dan Saketi bisa jadi tempat di mana percakapan itu terasa nyata. Ada tempat tertentu yang memanggil tanpa suara; ada perasaan yang menuntun tanpa arah. Di situlah pesan semesta bekerja: bukan lewat kata-kata, melainkan lewat rasa yang tidak bisa dijelaskan, hanya bisa dirasakan.

Cobalah nanti, saat kamu punya waktu sendiri di sana "duduk diam di bawah pohon, atau pandang langit sore tanpa berpikir apa-apa." Heningkan batinmu. Tarik napas perlahan, dan biarkan rasa menuntunmu pada sesuatu. Bisa jadi hanya kedamaian kecil yang muncul, tapi mungkin juga serpihan memori yang selama ini tersembunyi di balik kabut waktu.

Sebab semesta selalu berbicara dengan cara yang paling lembut, dan hanya hati yang tenang yang mampu mendengarnya.

Mungkin tempat itu akan mengingatkanmu tentang sesuatu, tentang siapa dirimu sebenarnya, tentang apa yang pernah hilang, atau bahkan tentang makna pulang yang sesungguhnya.

Dan ketika waktumu di Saketi berakhir, jangan kaget bila ada sesuatu dalam dirimu yang terasa berubah: lebih ringan, lebih sadar, seolah sebagian dari dirimu yang dulu terpisah kini telah kembali.

Karena sejatinya, perjalanan ke luar hanyalah cara semesta untuk menuntunmu pulang ke dalam.

Dan setiap tempat yang kamu datangi, setiap tanah yang kamu pijak, selalu punya cerita — bukan tentang dunia di luar sana, tapi tentang bagian dari dirimu sendiri yang akhirnya kau temukan kembali. 

Newest Post
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar