--> Skip to main content

Pertemuan di Pendopo dan Panggilan dari Alam

Malam itu, suasana terasa aneh namun tenang. Di dalam sebuah pendopo tua yang diterangi lampu minyak, aku duduk sendirian sambil menikmati sepiring makanan sederhana. 

Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan wangi bunga malam. Di tengah keheningan itu, tiba-tiba muncul seorang lelaki berpakaian rapi, membawa aura masa lalu yang begitu kuat. Ia memperkenalkan diri dengan suara berat namun bersahabat, “Aku Saksi Alam, utusan tangan kanan Bung Karno. Beliau memintamu untuk datang menemuinya.”



Sekejap, jantungku berdegup keras. Nama besar Bung Karno bergema di benakku — sosok pemimpin yang bukan hanya dikenal karena perjuangannya, tetapi juga karena kekuatan spiritual dan visi kebangsaannya. Namun sebelum sempat aku bertanya, sosok Saksi Alam itu tersenyum dan perlahan menghilang, meninggalkan kesunyian dan rasa takjub yang sulit dijelaskan.

Aku terbangun dari mimpi itu dengan dada berdebar dan kepala yang entah kenapa terasa ringan. Bukannya takut, aku justru merasa mendapat energi baru. Seolah ada sesuatu yang terbuka di dalam diriku — semacam pintu kesadaran yang selama ini tertutup rapat.

Beberapa hari sebelumnya, aku memang sering bermeditasi tengah malam. Tepat pukul dua belas, ketika dunia sedang hening dan langit berlapis gelap, aku duduk bersila dengan tenang. Tak ada niat apa pun selain pasrah, hanya melafalkan Surat Al-Fātiḥah berulang kali. Tak kusadari, kebiasaan sederhana itu ternyata membawa perubahan besar dalam diriku.

Al-Fātiḥah, sang pembuka, menjadi jembatan antara pikiranku yang terbatas dan sesuatu yang lebih luas, lebih tinggi, lebih terang. Dalam kepasrahan itu, aku merasakan seolah arus lembut energi mengalir melalui dadaku, menenangkan dan menguatkan sekaligus.

Mimpi tentang Bung Karno dan utusannya mungkin bukan kebetulan. Pendopo tempat aku makan bisa dimaknai sebagai ruang spiritual, tempat jiwa menerima pengetahuan baru. Sementara kehadiran “Saksi Alam” seakan menjadi pesan bahwa apa pun yang kulakukan, sedang disaksikan oleh kekuatan alam raya. Ada semacam panggilan — bukan untuk menjadi besar, tetapi untuk sadar. Sadar bahwa di dalam diri setiap manusia tersimpan semangat kepemimpinan, keberanian, dan kebijaksanaan yang bisa membimbing orang lain.

Setelah itu, sesuatu yang lain mulai terjadi. Dalam keheningan meditasi, kadang aku melihat percikan cahaya kecil seperti orbs — bola-bola cahaya yang menari sekilas di sudut mataku. Kadang pula, bayangan hitam melintas cepat, seakan sedang memperhatikan dari kejauhan. Anehnya, aku tidak merasa takut. Justru semakin damai, seolah itu hanyalah bagian dari dunia yang perlahan ingin kukenal.

Mungkin, ini cara alam berkomunikasi. Mungkin pula, hanya efek dari ketenangan batin dan kepekaan mata. Tapi apa pun itu, aku memilih tidak membedakan. Karena yang penting bukan apa yang terlihat, melainkan bagaimana hati tetap tenang di tengah semua pengalaman itu.

Kepasrahan adalah kuncinya. Aku belajar bahwa ketika seseorang benar-benar pasrah — bukan karena putus asa, tetapi karena percaya — maka alam akan membuka jalannya sendiri. Energi akan datang, tanda-tanda muncul, dan intuisi perlahan menuntun langkah.

Kini setiap malam aku masih duduk dalam keheningan. Tak menunggu mimpi, tak menanti keajaiban. Hanya duduk, bernapas, dan membaca Al-Fātiḥah dengan hati terbuka. Karena aku tahu, di balik setiap ayatnya ada kekuatan yang tak terlihat — kekuatan yang bisa membangkitkan jiwa, menuntun kesadaran, dan menyinari jalan kehidupan.

Dan mungkin, di suatu malam lain nanti, Saksi Alam akan datang kembali. Bukan untuk menyampaikan pesan, tapi hanya tersenyum, memastikan bahwa aku sudah berjalan di jalan yang seharusnya.


Newest Post
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar