Perjalanan Roh Menuju Cahaya: Sebuah Panggilan dari Langit

Table of Contents

Dalam sunyi malam, di antara batas sadar dan mimpi, roh ini terangkat perlahan menuju langit. Tak ada niat, tak ada rencana — hanya perasaan gugup bercampur bingung menyelimuti kesadaran. Di bawah sana, dunia mulai menjauh, sementara di atas, cahaya bintang berkilau seperti samudra tanpa tepi. 



Lalu muncul seekor naga yang berkata lirih, “Waktu kamu sudah habis.” Seketika hati bergetar — apakah ini akhir dari kehidupan? Namun di tengah kebingungan itu, suara hati yang paling dalam berbisik lembut, “Ya Allah, aku pasrah, ku serahkan segala urusanku kepada-Mu. Berikan aku kesempatan lagi, karena masih banyak tugas yang belum selesai.”

Doa itu seperti kunci yang membuka pintu antara langit dan bumi. Seketika roh yang sempat melayang tinggi melesat kembali, masuk ke dalam jasad dengan cepat, dan kesadaran pun pulih. Nafas terengah, tubuh gemetar, tapi hati justru diselimuti rasa syukur yang dalam — “Alhamdulillah.” Sejak malam itu, ada rasa baru dalam diri. Seperti habis menempuh perjalanan jauh, tapi pulang dengan jiwa yang lebih damai.

Itulah awal dari perjalanan batin yang tak pernah berhenti. Sejak usia dua belas tahun, dunia mimpi bukan lagi sekadar ruang bayangan, melainkan tempat bertemunya jiwa dengan pesan-pesan Ilahi. Kadang dalam bentuk simbol, kadang berupa perjalanan, dan sesekali hadir sosok-sosok bijak yang menyentuh jiwa tanpa kata. Salah satu yang paling membekas adalah pertemuan dengan seorang kakek tua. Dalam mimpi itu, kakek tersebut datang dengan wajah teduh dan penuh wibawa, mengulurkan tangan sambil berkata, “Ayo, ikut aku ke Mekkah.”

Tiba-tiba muncul cahaya lembut dari langit. Seekor malaikat bersayap turun, menunduk dengan hormat, lalu mengangkat tubuh ini dengan lembut ke pundaknya. Tak ada rasa takut, hanya kedamaian yang begitu dalam. Terbang menuju Mekkah, melewati lapisan awan, hingga terlihat cahaya suci di kejauhan. Di sana, hati bergetar — bukan karena takut, tapi karena rindu. Seolah roh mengenali tempat itu, seolah pernah berada di sana sebelum terlahir ke dunia.

Ketika terbangun dari mimpi itu, dunia terasa berbeda. Pandangan terhadap hidup berubah perlahan. Hidup tidak lagi dilihat sebagai rangkaian kejadian yang acak, melainkan sebagai perjalanan penuh tanda, setiap langkah mengandung makna yang harus diselami. Sejak saat itu, ada dorongan kuat dari dalam untuk mencari, memahami, dan menemukan hakikat kehidupan.

Kini setiap renungan pagi bukan sekadar kebiasaan, tapi pertemuan antara jiwa dan keheningan. Di sana, dalam diam, kadang muncul bisikan lembut — pengingat bahwa semua yang terjadi bukan tanpa maksud. Bahwa setiap napas adalah anugerah, setiap ujian adalah panggilan untuk naik satu tingkat lebih tinggi dalam kesadaran.

Perjalanan ini belum berakhir. Tapi kini, hati telah tahu arah pulang. Ke Mekkah mungkin belum benar-benar dicapai secara jasmani, tapi perjalanan menuju Mekkah dalam hati telah dimulai — tempat di mana manusia mengenal dirinya, dan dengan itu, mengenal Tuhannya.

Dan mungkin, semua yang terjadi — dari mimpi naga di langit, sampai malaikat yang mengangkat roh menuju cahaya — hanyalah cara lembut semesta mengingatkan:

bahwa waktu bukan untuk ditakuti, melainkan untuk dimaknai.

Bahwa hidup bukan sekadar ada, melainkan untuk menjadi sadar.

Dan bahwa setiap jiwa, cepat atau lambat, akan kembali menuju cahaya asalnya — dengan damai, dengan pasrah, dengan cinta. 🌿