Ketika Guru Datang dalam Sunyi

Table of Contents

Ada mimpi yang berlalu begitu saja saat pagi datang. Namun ada pula mimpi yang tinggal, menetap di relung jiwa, dan pelan-pelan mengubah cara kita memandang hidup. Mimpi seperti itulah yang tidak meminta ditafsirkan dengan tergesa, melainkan direnungkan dengan hati yang tenang.



Dalam mimpi itu, seorang ulama besar—Ki Syar’i—datang dengan cara yang sederhana. Tidak dengan keramaian, tidak dengan sorak penghormatan. Ia menyetir sendiri mobil sedan berwarna kuning, lalu mampir ke sebuah pondok. Tidak ada pidato panjang. Tidak ada nasihat yang diucapkan. Namun justru dalam kesederhanaan itulah pesan terdalam disampaikan.

Ulama dalam mimpi sering kali bukan sekadar sosok sejarah atau tokoh agama. Ia adalah simbol kebijaksanaan, kedalaman ilmu, dan kematangan laku hidup. Ketika sosok seperti itu hadir dalam mimpi, sejatinya yang datang bukan hanya figur luar, melainkan panggilan dari dalam diri: panggilan untuk hidup lebih sadar, lebih jujur, dan lebih bertanggung jawab pada arah hidup sendiri.

Fakta bahwa beliau menyetir sendiri menyimpan makna yang halus namun kuat. Jalan spiritual sejati tidak selalu ramai. Orang yang matang dalam ilmu dan batin tidak bergantung pada pengiring, tidak pula haus pengakuan. Ia tahu ke mana hendak melangkah, dan ia memegang kemudi hidupnya sendiri. Pesan ini seakan berbisik pelan: bahwa setiap manusia, pada akhirnya, bertanggung jawab atas arah hidupnya, bukan pada keramaian yang mengiringinya.

Mobil berwarna kuning melambangkan kejernihan. Kuning bukan warna yang keras, bukan pula gelap. Ia adalah warna cahaya yang hangat—simbol kesadaran, kewaspadaan, dan kebijaksanaan yang lahir dari pemahaman, bukan emosi. Perjalanan hidup yang digambarkan di sini bukan perjalanan ekstrem, melainkan jalan tengah: tenang, sadar, dan membumi.

Lalu ada pondok. Tempat sederhana, sunyi, dan jauh dari gemerlap dunia. Pondok adalah ruang belajar, ruang pembentukan diri. Di sanalah ilmu tidak dipamerkan, tapi dihidupi. Ketika seorang ulama besar justru mampir ke pondok, pesan itu menjadi semakin jelas: ilmu sejati tidak selalu turun di tempat tinggi, tetapi di ruang yang siap menerima dengan kerendahan hati.

Perasaan kaget dan senang yang muncul dalam mimpi bukanlah kebetulan. Kaget menandakan kesadaran yang dibangunkan—sesuatu yang datang di luar dugaan. Senang menandakan penerimaan batin. Tidak ada penolakan, tidak ada rasa berat. Hanya kehangatan, seolah jiwa berkata, “Aku mengenal jalan ini.”

Setelah mimpi itu, datanglah fase merenung. Bukan kebingungan, bukan kegelisahan, melainkan keheningan yang bertanya pelan: ke mana aku akan melangkah? Merenung adalah tanda bahwa mimpi itu hidup. Ia tidak berhenti di alam tidur, tetapi berjalan bersama kesadaran saat terjaga.

Barangkali mimpi ini bukan tentang menjadi ulama, bukan pula tentang peran besar di mata manusia. Mimpi ini adalah undangan untuk menata niat, membersihkan laku, dan menyetir hidup dengan kesadaran sendiri. Menjadi pondok yang layak didatangi ilmu, sebelum bercita-cita menjadi jalan bagi orang lain.

Karena pada akhirnya, ketika hati bersih dan niat lurus, guru akan datang. Kadang lewat pertemuan nyata, kadang lewat peristiwa hidup, dan kadang—lewat mimpi yang sunyi, namun abadi dalam jiwa.